BAB
1
SASTRA
DAN STUDI SASTRA
Sastra
adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni. Sedangkan studi sastra adalah
cabang ilmu pengetahuan. Ada yang mengatakan bahwa tidak mungkin dapat
mempelajari Alexander Pope tanpa mencoba membuat puisi dengan bentuk heroic couplets, atau kita harus belajar
mengarang drama dalam bentuk blank verse. Seorang penelaah sastra harus
dapat menerjemahkan pengalaman sastranya dalam bahasa ilmiah, dan harus dapat
menjabarkannya dalam uraian yang jelas dan rasional.sejumlah teoritikus menolak
mentah-mentah bahwa telaah sastra adalah ilmu dan menganjurkan “penciptaan
ulang” (second creation) sebagai
gantinya seperti yang dilakukan oleh Walter Pater dan John Addington Symonds
(penyair Inggris abad ke-19) mencoba memindahkan lukisan terkenal karya
Leonardo da Vinci, Mona Lisa, dalam bentuk tulisan. John Addington Symonds
(kritikus Inggris sezaman dengan Pater) mengulas karya sastra dengan gaya
bahasa sastra yang berbunga-bunga.
Cara
ilmiah untuk mendekati karya seni sastra adalah dengan menerapkan (mentransfer)
metode-metode yang dikembangkan oleh ilmu-ilmu alam pada studi sastra.
Misalnya, sikap-sikap ilmiah seperti objektivitas, kepastian, dan sikap tidak
terlibat. Usaha lain adalah meniru metode ilmu-ilmu alam melalui studi sumber,
asal, dan penyebab (metode genetik). Secara lebih ketat, kausalitas ilmiah
semacam ini dipakai untuk menjelaskan fenomena sastra dengan mengacu pada
kondisi ekonomi, sosial, dan politik sebagai faktior –faktor penyebab.
Statistik, grafik, dan peta, yang biasanya dipakai dalam ilmu eksakta juga
dipakai dalam pendekatan ini. Akhirnya perlu dicatat juga penggunaan konsep
biologis dalam menelusuri evolusi sastra.
Bagaimanapun,
kita harus kembali pada masalah-masalah yang muncul dari penerapan ilmu-ilmu
alam pada studi sastra. Ada suatu kawasan tempat dua metodologi tersebut saling bersinggungan atau bahkan
bertumpang tindih. Metode-metode dasar seperti induksi, deduksi, analisis,
sintesis, dan perbandingan sudah umum dipakai di setiap jenis ilmu pengetahuan
yang sistematis, termasuk dalam studi sastra. Jika kita hendak membahas
perbedaan kedua ilmu di atas secara menyeluruh, barangkali kita perlu
menentukan lebih dulu sikap kita mengenai berbagai macam masalah klasifikasi
ilmu, filsafat sejarah, dan teori ilmu pengetahuan.
Ada
dua jalan keluar yang ekstrim untuk membedakan sastra dan studi sastra. Pertama
adalah mengikuti metode-metode ilmiah atau ilmu sejarah, dengan sekadar
mengumpulkan fakta-fakta atau menyusun “hukum-hukum” sejarah yang sangat umum.
Cara kedua adalah menekankan subjektivitas dan individualitas, serta keunikan
karya sastra. Tetapi cara yang kedua ini diterapkan secara ekstrim. “intuisi”
pribadi dapat mengarah pada “apresiasi” yang bersifat emosional saja, suatu
subjektivitas total. Penekanan pada “individualitas” dan “keunikan” karya
sastra walaupun merupakan reaksi sehat terhadap kecenderungan main generalisasi
dapat membuat orang lupa bahwa tak ada satu karya sastra pun yang seratus
persen “unik”.
Akhirnya,
perlu diingat bahwa setiap karya sastra pada dasarnya bersifat umum dan
sekaligus bersifat khusus, atau lebih tepat lagi individual dan umum sekaligus.
Yang dimaksud dengan individual di sini tidak sama dengan seratus persen unik
atau khusus. Seperti setiap manusia yang memiliki kesamaan dengan umat manusia
pada umumnya, dengan sesama jenisnya, dengan bangsanya, dengan kelasnya, dengan
rekan-rekan seprofesinya setiap karya sastra mempunyai ciri-ciri yang khas,
tetapi juga mempunyai sifat-sifat yang sama dengan karya seni lain.sedangkan
kritik sastra dan sejarah sastra sama-sama mencoba mencirikan kekhasan sebuah
karya sastra, seorang pengarang, suatu periode, atau kesusastraan nasional
tertentu.
BAB
2
SIFAT-SIFAT
SASTRA
Salah
satu batasan “sastra” adalah segala sesuatu yang tertulis atau tercetak.
Menurut teori Greenlaw dan praktek banyak ilmuwan lain, studi sastra bukan
hanya berkaitan erat, tapi identik dengan sejarah kebudayaan. Kaitan studi
semacam ini dengan sastra terletak pada perhatian terhadap hasil tulisan dan
cetakan.cara lain untuk memberi definisi pada sastra adalah membatasinya pada
“mahakarya” (great books), yaitu buku-buku yang dianggap “menonjol karena
bentuk dan ekspresi sastranya”. Di dalam hal ini kriteria yang dipakai adalah
segi estetis, atau nilai estetis dikombinasikan dengan nilai ilmiah. Istilah
“sastra” paling tepat diterapkan pada seni sastra, yaitu sastra sebagai karya
imajinatif.
Istilah
lain yaitu “fiksi” dan “puisi”terlalu sempit pengertiannya. Sedangkan istilah
“sastra imajinatif” berasal dari bahasa Prancis, kurang lebih menyerupai
pengertian etimologis kata susastra. Untuk melihat penggunaan bahasa yang khas
sastra kita harus membedakan bahasa sastra, bahasa sehari-hari, dan bahasa
ilmiah. Jadi bahasa ilmiah cenderung menyerupai sistem tanda matematika atau
logika simbolis. Bahasa sastra penuh ambiguitas dan homonim, serta memiliki
kategori-kategori yang tak beraturan dan tak rasional. Bahasa sastra juga penuh
asosiasi, mengacu pada ungkapan atau karya yang diciptakan sebelumnya. Yang
dipentingkan dalam bahasa sastra adalah tanda, simbolisme suara dari kata-kata.
Yang
lebih sulit adalah membedakan bahasa sastra dan bahasa sehari-hari. Bahasa
sehari-hari bukanlah suatu konsep yang seragam. Bahasa sehari-hari juga
memiliki fungsi ekspresif, penuh konsep yang irasional dan mengalami perubahan
konteks sesuai dengan perkembangan sejarah bahasa. Kalau kita memegang
“fiksionalitas”, “ciptaan”, dan “imajinasi” sebagai ciri-cirin sastra, mungkin
kita mengacu pada karya-karya Homer, Dante, Shakespeare, dan bukan pada karya
Cicero, Montagne, Bossuet, atau Emerson yang lebih bersifat filosofis. Karya
yang besar dan berpengaruh tidak akan berkurang kehebatannya jika digolongkan
menjadi karya retorik, filsafat, pamflet politik yang juga menawarkan analisis
estetis, stilistika, dan komposisi seperti halnya karya sastra.
Ada
satu catatan untuk menghindari kesalahan. Istilah sastra sebagai karya
“imajinatif” di sini tidak berarti bahwa setiap karya sastra harus memakai imaji
(citra). Bahasa puitis memang penuh dengan pencitraan, dari yang paling
sederhana sampai pada sistem mitologi dalam puisi-puisi penyair Inggris zaman
Neoklasik, Blake, dan penyair awal abad ke-20, Yeats. Yang dimaksud pencitraan
di sini berbeda dengan apa yang ada dalam pikiran ahli-ahli estetika seperti
Visher dan Eduard von Hartman. Aliran lain menganggap bahwa semua karya seni
adalah karya yang sepenuhnya nampak. Tetapi banyak karya sastra tidak
membangkitkan imaji indrawi. Bahkan dalam menampilkan tokoh, seorang pengarang
tidak selalu perlu memakai citra klasik.
Biasanya
penulis membuat suatu gambaran umum yang skematis, yang dibangun atas suatu
kecenderungan fisik tertentu. Terlalu banyak ilustrasi kadang-kadang justru
terasa mengganggu. Kalau kita harus memvisualisasikan setiap metafor dalam
puisi, barangkali kita akan menjadi bingung dan kewalahan. Tetapi ini adalah
masalah psikologis yang tidak boleh disamakan dengan analisis teknik metafor
penyair. Metafor hadir secara tersenbunyi dalam bahasa sehari-hari, dan banyak
muncul dalam slang dan kiasan
populer. Terminologi yang biasa dipakai, yang menyebut sastra sebagai
“organisme”, sedikit menyesatkan karena hanya menekankansatu aspek saja, yaitu
“kesatuan dalam keragaman”.
BAB
3
FUNGSI
SASTRA
Pada
periode Renaisans di Amerika, penyair dan cerpenis Edgar Allan Poe mengkritik
konsep bahwa puisi bersifat didaktis. Poe:sastra berfungsi menghibur, dan
sekaligus mengajarkan sesuatu. Tesis dan kontratesisnya adalah konsep Horace dulce dan utile : puisi itu indah dan berguna. Pandangan bahwa puisi
menghibur, bertentangan dengan pandangan bahwa puisi mengajarkan sesuatu.
Pandangam bahwa puisi adalah propaganda, bertentangan dengan pandangan bahwa
puisi semata-matapermainan bunyi dan citra, tanpa acuan ke dunia nyata. Formula
Horace ini akan banyak membantu kalau cakupannya kita perluas sehingga meliputi
berbagai gaya dan kecenderungan dalan sastra, misalnya dalam sastra Romawi dan
Renaisans.
Masalah
lainnya dalah : apakah sastra memiliki satu fungsi atau beberapa fungsi? Dalam
bukunya Primer for Critics, George Boas menguraikan
bermacam-macam tujuan sastra dan tipe kritik sastra. Jika kita ingin
memperlakukan sastra atau puisi secara serius seharusnya ada fungsi atau
manfaat sastra yang hanya cocok untuk sastra sendiri. Pengalaman bahwa sastra
memiliki nilai yang unik nempaknya memang sangat mendasar pada setiap teori
yang membahas nilai sastra. Bermacam-macm teori muncul dan semuanya berusaha
menggarisbawahi pengalaman ini secara lebih secara lebih sempurna.
Akhir-akhir
ini ada kecenderungan untuk membuktikan bahwa manfaat dan keseriusan puisi
terletak pada segi pengetahuan yang disampaikannya. Jadi, puisi dianggap
sejenis pengetahuan. Maka yang hendak dibuktikan sekarang adalah bahwa sastra
memberikan pengetahuan dan filsafat. Pada zaman Neoklasik, Samuel Johnson masih
menganggap bahwa puisi menyampaikan hal-hal umum. Teori sastra dan apologetics menekankan sifat tipikal
sastra atau kekhususannya. Tingkat keumuman atau kekhususan berbeda-beda
kadarnya pada setiap karya sastra dan setiap periode.
Apakah
puisi mewujudkan apa yang sudah ada atau memberikan pengertian artistik baru
bagi pembacanya? Secara umum kita bisa mengerti mengapa ahli-ahli estetika
ragu-ragu untuk menyangkal bahwa “kebenaran” merupakan kriteria atau ciri khas
seni. Pertama, kebenaran adalah istilah kehormatan, dan dengan memakainya orang
memberi penghargaan pada seni. Kedua, orang takut bahwa kalau seni tidak
“benar”, berarti seni itu “bohong”, seperti tuduhan Plato. Kontroversi ini
bersifat semantik. Apa yang kita maksudkan dengan “pengetahuan”, “kebenaran”,
“kog’nisi”, dan “kebijaksanaan”? kalau semua kebenaran merupakan konsep dan
proposisi, maka seni termasuk seni sastra bukan bentuk kebenaran.
Alternatif
lain adalah memakai kebenaran ganda atau jamak. Jadi tersedia berbagai cara
untuk memperoleh pengetahuan. Atau kita membedakan dua tipe dasar pengetahuan
yang masing-masing menggunakan sistem bahasa yang terdiri dari tanda-tanda.
Misalnya, ilmu pengetahuan memakai cara diskursif, yakni membuat uraian panjang
lebar dan seni yang memakai cara presentasional, yakni langsung memberikan
wujud atau contoh. Sistem pertama dipakai oleh para pemikir dan filsuf. Yang
kedua meliputi mitos keagamaan dan puisi. Sistem yang kedua bisa disebut
“benar” dan “kebenaran”.
Pandangan
bahwa seni menemukan kebenaran atau memberi pengertian baru tentang kebenaran,
berbeda dengan pandangan bahwa seni adalah propaganda.dalam kata propaganda tersirat unsur-unsur
perhitungan, maksud tertentu, dan biasanya diterapkan dalam doktrin atau
program tertentu pula. Sedangkan seni yang baik, seni yang hebat, atau Seni
dengan huruf besar, bukanlah propaganda. Seni yang serius menyiratkan pandangan
hidup yang bisa dinyatakan dalam istilah-istilah filosofis atau dalam sebuah
sistem. Pandangan hidup yang diartikulasikan seniman bertanggung jawab tidak
sesederhana karya propaganda populer.
Pendek
kata, pertanyaan mengenai fungsi sastra sudah muncul sejak dahulu di dunia
Barat, sejak Plato hingga sekarang. Karena ditantang, penyair dan pembaca
terpaksa secara moral dan intelektual memberi jawaban. Menghadapi tantangan dan
tuntutan untuk membuktikan fungsi, dengan sendirinya tulisan-tulisan pembelaan
menekankan segi manfaat, bukan kenikmatan, dan dengan demikian menyangkut
fungsi yang dikaitkan dengan hubungan ekstrinsik atau hubungan dengan hal-hal
yang di luar sastra. Dengan demikian istilah “fungsi” lebih cocok dikaitkan
dengan tulisan-tulisan yang bernada apologetiks (membela, mencari alasan).
BAB
4
TEORI,
KRITIK, DAN SEJARAH SASTRA
Di
dalam wilayah studi sastra, perlu ditarik perbedaan antara teori sastra, kritik
sastra, dan sejarah sastra. Kesusastraan dapat dilihat sebagai deretan karya
yang sejajar, atau yang tersusun secara kronologis dan merupakan bagian dari
suatu proses sejarah. Teori sastra adalah studi prinsip, kategori, dan
kriteria. Sedangkan studi karya-karya konkret disebut kritik sastra dan sejarah
sastra. Ketiga hal tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Tak mungkin
kita menyusun teori sastra tanpa kritik sastra dan sejarah sastra, sejarah
sastra tanpa kritik sastra dan teori sastra, dan kritik sastra tanpa teori dan
sejarah sastra. Teori sastra jelas hanya dapat disusun berdasarkan studi
langsung terhadap karya sastra.
Kriteria,
kategori, dan skema tidak mungkin diciptakan secara in vacuo alias tanpa pijakan. Ada yang berusaha memisahkan sejarah
sastra dari teori sastra dan kritik sastra. F.W. Bateson misalnya, mengatakan
bahwa sejarah sastra menunjukkan A lebih baik dari B. Penilaian selalu tersirat
pada setiap pilihan bahan. Ketika sejarawan menentukan mana buku sastra dan
mana yang bukan, berapa panjang pembahasan untuk pengarangini dan berapa
panjang untuk pengarang untuk pengarang itu. Sejarawan hanya perlu mencantumkan
tanggal, judul penerbitan, dan data biografis pengarang. Tetapi jika menyangkut
masalah yang mendalam (misalnya mengenai kritik naskah, sumber, dan pengaruh)
penilaian tidak dapat dihindari.
Ada
alasan lain untuk memisahkan sejarah sastra dari kritik sastra. Penialian
merupakan hal yang penting, tidak dapat disanggah. Tetapi dikatan pula bahwa
sejarah sastra mempunyai kriteria dan standarnya sendiri, yaitu kriteria dan
nilai zaman yang sudah lalu. Kita harus memakai standar mereka dan berusaha
menghilangkan segala prakonsepsi kita sendiri “historirisme”. Teori semacam ini
juga tersirat pada penelitian tentang teori –teori psikologi zaman Elizabeth,
misalnya doktrin humours atau
konsepsi ilmiah dan pseudo ilmiah para penyair masa itu. Penelitian-penelian di
atas memang meyakinkan kita bahwa tiap periode mempunyai konsepsi penilaian dan
konvensi sastra yang berbeda-beda.
Pandangan
mengenai sejarah sastra semacam ini menuntut kemampuan imajinasi, empati dengan
masa silam atau dengan selera masa silam. Rekonstruksi sejarah sastra telah
berhasil memusatkan perhatian pada maksud pengarang, yang ditelusuri melalui
sejarah kritik dan selera. Dengan demikian, bukan hanya ada satu atau dua,
melainkan ratusan konsepsi sastra yang berdiri sendiri, tak berhubungan,
beragam, dan masing-masing dapat dianggap “benar”. Sejarah sastra terbagi atas
fragmen-fragmen yang terpisah dan tak bisa dipahami secara keseluruhan.
Pandangan yang lebih moderat menekankan adanya dua kutub yang tidak dapat
dijembatani, yaitu aliran Klasik dan aliran Romantik.
Gagasan
bahwa maksud pengarang adalah bahan utamastudi sastra adalah keliru. Karya
sastra berdiri sendiri sebagai suatu sistem nilai. Tidak mungkin kita berhenti
menjadi manusia abad ke-20 ketika mempelajari suatu karya masa lalu. Di dalam
praktek kita sukar memilih antara sudut pandang sejarah dan sudut pandang
kekinian. Kita perlu mengambil sudut pandang lain yang mungkin cocok disebut
sebagai “perspektivisme”. Satu-satunya alasan yang bisa diterima untuk tidak
mempelajari pengarang yang masih hidup adalah karena ilmuan tidak dapat melihat
keseluruhan karya si pengarang. Karya sastra tidak bisa ditelaah, diuraikan
kekhasannya, dan dinilai tanpadukungan prinsip kritik sastra.
Sejarah
sastra sangat penting untuk kritik sastra. Kalau kritik hendak bergerak lebih
jauhdari sekadar pernyataan suka dan tidak suka. Satu kasus yang perlu
diperhatikan adalah sastra Abad Pertengaha, terutama di Inggris yang jarang
diperhatikan dan didekati secara estetis. Penerapan sudut pandang modern akan
memberikan perspektif baru pada puisi Anglo Saxon atau puisi lirik Abad
Pertengahan yang kaya. Sebaliknya, pendekatan sejarah dan penelitian masalah
genetik dapat membantu pemahaman sastra kontemporer.
BAB
5
SASTRA
UMUM, SASTRA BANDINGAN, DAN SASTRA NASIONAL
Pertama,
istilah “sastra bandingan” dalam prakteknya menyangkut bidang studi dan masalah
lain. Pertama istilah ini dipakai untuk studi sastra lisan, terutama cerita
rakyat dan migrasinya, serta bagaimana dan kapan cerita rakyat masuk ke dalam
penulisan sastra yang lebih artistik. Bagaimanapun, studi sastra lisan tetap
harus mendapat perhatian penting dari setiap ilmuan sastra yang hendak memahami
prose perkembangan sastra , serta asal, dan berkembangnya jenis dan
teknik-teknik sastra. Sayang, hampir semua studi sastra lisan hanya
mengkhususkan diri pada studi tema dan migrasi sastra lisan dari satu negara ke
negara lain.
Kedua,
istilah sastra bandingan mencakup studi hubungan antara dua kesusastraan atau lebih.
Metodologinya lebih dari sekadar mengumpulkan informasi tinjauan buku,
terjemahan, dan pengaruh. Ada masalah khusus yang menyangkut pengertian sastra
bandingan. Studi-studi bandingan tidak menghasilkan suatu sistem yang khas. Biasanya,
studi-studi demikian hanya menelusuri gema suatu mahakarya, migrasi, dan
penyebaran tema dan bentuk yang diilhami mahakarya itu. Mundurnya tipe studi
sastra bandingan ini pada awal abad ke-20 menunjukkan bahwa ilmuwan mulai bosan
berurusan dengan fakta, sumber, dan pengaruh melulu.
Ketiga,
istilah sastra bandingan disamakan dengan studi sastra menyeluruh. Jadi sama
dengan “sastra dunia”, “sastra umum”, atau “sastra universal”. Istilah sastra
dunia terlalu muluk dan menyiratkan bahwa yang harus dipelajari adalah sastra lima
benua, dari Selandia Baru sampai Islandia. Istilah “sastra umum”dulu berarti
poetika atau teori dan prinsip sastra. Menurut Paul van Tieghem, sastra umum
mempelajari gerakan dan aliran sastra yang melampaui batas nasional. Sedangkan
sastra bandingan mempelajari hubungan dua kesusastraan atau lebih. Akhirnya,
wilayah sastra umum dan sastra bandingan pun bertumpang tindih. Mungkin lebih
baik keduanya kita sebut “sastra” saja.
Masih
kita nantikan penulisan kembali sejarah sastra dalam skala supra-nasional,
yaitu sejarah sastra yang merupakan suatu sintesis. Studi sastra bandingan
dengan kaliber ini menuntut penguasaan bahasa asing dan keberanian untuk
menyisihkan rasa kedaerahan yang sulit dihilangkan. Sejarah tentang tema,
bentuk, teknik, dan jenis sastra sebetulnya bersifat internasional. Penekanan
pada perbedaan bahasa ditimbulkan oleh bangkitnya semangat nasionalisme yang
romantis dan berkembangnya studi sejarah sastra modern yang lebih terarah.
Akibatnya, di Amerika kurang ada kontak antara mereka yang mempelajari sastra
Inggris dengan mereka yang mempelajari sastra Jerman, atau sastra Prancis.
Saran
untuk mengadakan studi bandingan sama sekali tidak menyiratkan permintaan agar
studi sastra nasional masing-masing negara diabaikan. Sayangnya masalah ini
jarang dibicarakan dengan dasar teori yang jelas, dan justru dikaburkan oleh
teori-teori yang berbau rasial dan diwarnai sentimen kedaerahan. Masalah
kebangsaan menjadi rumit kalau kita harus menempatkan karya sastra yang ditulis
dalam satu bahasa yang samake dalam kelompok beberapa sastra nasional. Untuk
menggambarkan kaitan dan peran sastra nasional dan sastra universal, kita perlu
mengetahui sejarah sastra secara menyeluruh.
BAB
6
MEMILIH
DAN MENYUSUN NASKAH
Ada
dua tingkat kegiatan persiapan. Pertama, menyusun dan menyiapkan naskah. Kedua,
menentukan urutan karya menurut waktu penciptaan, memeriksa keaslian,
memastikan pengarang naskah, meneliti karya, kerja sama dan karya yang sudah
diperbaiki oleh pengarang atau penerbit. Kegiatan terakhir sering disebut
“kritik tingkat tinggi”. Kegiatan pertama yakni menyusun dan mengumpulkan
naskah dalam bentuk manuskrip atau cetakan, telah dilakukan dengan tuntas dalam
sejarah sastra Inggris.
Setelah
tugas awal mengumpulkan naskah dan membuat katalog selesai, mulailah proses editing. Editing adalah kerja yang
rumit, serta melibatkan interpretasi dan penelitian sejarah. Mengedit manuskrip
kuno berbeda dengan mengedit naskah cetakan. Untuk mempelajari manuskrip kuno,
diperlukan pengetahuan paleografi. Paleografi adalah studi yang menentukan
tahun penciptaan manuskrip dengan memakai sejumlah kriteria. Studi ini juga
mempelajari cara memahami singkatan dan istilah kuno. Memang sulit untuk
menentukan mana yang benar, tetapi dalam mengedit sebaiknya kita tetap
berpegang pada naskah pengarang yang ada dan jangan berusaha merekonstuksikan
suatu versi asli yang masih bersifat hipotesa belaka.
Proses
menetapkan “silsilah” teks berbeda dengan kritik teks dan koreksi teks. Kedua
kegiatan ini melibatkan sejumlah sudut pandang dan kriteria lain di samping
klasifikasi. Koreksi naskah didasarkan pada dua kriteria. Pertama, harus
diteliti apakah kata-kata dan bagian dari karya sastra betul-betul “tulen”.
Kedua, apakah pilihan itu sudah “tepat benar” dari segi linguistik , sejarah,
dan psikologi. Tapi pada akhirnya yang menentukan adalah perkiraan, selera, dan
kepekaan linguistik editor. Untuk menyusun naskah yang enak dibaca, pembahasan
tentang konvensi coretan tangan penulis dan masalah setting dibuat sesingkat
mungkin.
Walaupun
secara umum editing manuskrip dan naskah cetakan memiliki permasalahan serupa,
ada perbedaan yang dulu kurang dipahami. Hampir semua naskah klasik terdiri
dari beberapa versi, serta dokumennya berasal dari tempat dan waktu yang
berbeda-beda. Hal ini berbeda dengan naskah cetakan. Biasanya hanya satu atau
dua edisi naskah cetakan yang memiliki kewenangan sumber. Biasanya yang dipakai
adalah edisi pertama atau edisi terakhir yang dibuat dengan pengawasan
pengarang. Dalam menyiapkan sebuah edisi, kita prlu memperhitungkan tujuan dan
sasarannya.
Selain
meyusun naskah yang benar, editing juga mempunyai permasalahan lain. Urutan
karya dan anotasi juga harus ditentukan. Bagi seorang ilmuwan, edisi terbaik
adalah edisi lengkap yang disusun secara kronologis. Anotasi dalam arti sempit
yakni penjelasan teks dari segi linguistik dan sejarah harus dibedakan dari
anotasi yang dilengkapi dengan data-data sumber, paralelisme dan tiruan oleh
penulis lain. Yang juga berbeda adalah komentar yang bersifat estetis, terdiri
dari esei tentang bagian-bagian karya, jadi berfungsi seperti antologi.
Yang
lebih penting dari urutan waktu penciptaan adalah keaslian dan identitas
pengarang. Untuk menjawab masalah ini diperlukan penelitian stilistikadan
sejarah yang lebih mendalam. Banyak pengarang yang keaslian karyanya
dipertanyakan kembali. Pembicaraan mengenai pemalsuan naskah dalam sejarah
sastra, merangsang penelitian-penelitian lain. Penelitian menunjukkan sejumlah
pelanggaran konvensi yang dapat dengan cepat mendeteksi pemalsuan. Kecurigaan
bahwa suatu naskah mungkin palsu, memaksa para ilmuwan untuk memeriksa dan
memperkuat dasar-dasar argumen penetapan tahun penciptaan dan dentitas
pengarang yang dianggap keliru.
BAB
7
SASTRA
DAN BIOGRAFI
Biografi
adalah genre yang sudah kuno.
Pertama-tama biografi secara kronologis maupun secara logis adalah bagian dari
historiografi. Ada dua pertanyaan yang harus dijawab dalam menyusun biografi
sastrawan. Pertama: sejauh mana penulis biografi tersebut dapat memanfaatkan
karya sastra sebagai bahan atau pembuktian? Kedua: sejauh mana biografi itu
relevan dan penting untuk memahami karya sastra? Dalam hal ini kita perlu
membedakan dua tipe penyair, yang subjektif dan objektif. Tapi dalam menghadapi
penyair yang subjektif sekali pun, kita tidak boleh dan tidak dapat langsung
menyamakan pernyataan yang bersifat otobiografis dengan penggunaan motif yang sama pada karya
sastra.
Pandangan
bahwa seni adalah ekspresi diri yang murni dan polos yakni perwujudan
pengalaman pribadi dan perasaan yang keliru. Pendekatan biografis sering
melupakan bahwa seni bukan sekadar perwujudan pengalaman, tetapi merupakan mata
rantai tradisi sastra dan konvensasi, yang menentukan apakah suatu karya
tersebut drama atau puisi. Karya sastra mungkin merupakan “topeng”, “pribadi
yang berlawanan”, yang tersembunyi dibalik pengarang. Lagi pula harus kita
ingat bahwa untuk karyanya, pengarang bisa mengalami hidup dengan cara yang
berbeda-beda: pengalaman hidup dipakainya untuk bahan karya sastra dan
pengalaman itu pun sudah dibentuk oleh tradisi sastra dan prakonsepsi.
Akhirnya
kita terpaksa menganjurkan agar setiap interpretasi biografis dan pemakaian
karya sastra untuk biografi harus selalu diuji dengan kritis, karena karya
sastra bukanlah dokumen biografis. Perlu pula diragukan pendekatan yang hanya
mengambil satu bagian dari Jane Eyre atau Vollette
untuk menyimpulkan kehidupan kakak beradik Bronte. Hal ini dilakukan oleh
Virginia Moore dalam bukunya The
life and Eager Death of Emily. Ia
mengira bahwa Emily mengalami gejolak perasaan tokohnya, Heathcliff. Tipe
argumen semacam inilah yang mendasari pendapat bahwa pati Shakespeare pernah
mengunjungi Italia, dan pernah menjadi ahli hukum, tentara, guru, dan petani.
Tetapi
contoh kekeliruan pandangan itu tidak menghilangkan masalah adanya kepribadian
dibalik karya sastra. Bagaimanapun tetap ada hubungan, kesejajaran, dan
kesamaan tidak langsung antara karya dan pengarangnya. Tapi konvensi yang
dipakai jelas berdasarkan pengalaman dan hidupnya sendiri. Di dalam konteks
inilah kita melihat manfaat pendekatan niografis. Pendekatan ini berguna untuk
menjelaskan makna alusi dan kata-kata yang dipakai dalam karya sastra. Biografi
juga mengumpulkan bahan untuk menjawab masalah sejarah sastra seperti bacaan
pengarang, persahabatan pengarang dengan sastrawan lain, perjalanannya, serta
daerah dan kota-kota yang pernah dikunjungi dan ditinggalinya.
Meskipun
demikian, pendekatan biografis tetap mempunyai dampak terhadap penilaian karya
sastra. Kriteria “ketulusan” tidak tepat diartikan: sejauh mana karya sastra
patuh pada kejujuran biografis. Ini berarti mencari persamaan langsung antara
pengalaman dan perasaan pengarang di dalam dan di luar karya sastra. Perasaan
yang paling jujur dan menggebu-gebu banyak menghasilkan sajak-sajak remaja yang
cengeng atau puisi dakwah yang
bertele-tele. Puisi tetap hidup, sedangkan air mata dan perasaan
penciptanya sudah lenyap tak bisa dan tak perlu direkonstruksi.
BAB
8
SASTRA
DAN PSIKOLOGI
Istilah
“psikologi sastra” mempunyai empat kemungkinan pengertian. Yang pertama adalah
studi psikologis pengarang sebagai tipe atau sebagai paribadi. Yang kedua
adalah studi proses kreatif. Yang ketiga adalah studi tipe dan hukum-hukum
psikologi yang diterapkan pada karya sastra. Yang keempat mempelajari dampak
sastra pada pembaca (psikologi pembaca). Penyair adalah pelamun yang diterima
masyarakat. Penyair tak perlu mengubah kepribadiannya, ia boleh meneruskan dan
mempublikasikan lamunannya.
Teori
seni sebagai gangguan emosi menampilkan masalah hubungan imajinasi dengan
kepercayaan. Salah satu kecenderungan yang lain yang ada pada seniman (terutama
penyair) adalah sinestesia, penggabungan dua macam penginderaaan, biasanya
penglihatan dan pendengaran. Kecenderungan psikologis ini bersumber dari
kebiasaan untuk tidak membedakan macam-macam penginderaan. Tetapi sekarang
sinestesia sudah menjadi teknik sastra, semacam terjemahan metaforis, seperti
ungkapan berlebihan sajak-sajak metafisik, suatu sikap estetis tertentu
terhadap kehidupan.
Penggolongan
dua kutub seni yang paling terkenal dan berpengaruh adalah yang dibuat oleh
Nietzsche dalam bukunya The Birth of
Tragedy (1872). Proses kreatif meliputi seluruh tahapan, mulai dari
dorongan bawah sadar yang melahirkan karya sastra sampai pada perbaikan
terakhir yang dilakukan pengarang. Struktur mental seorang penyair berbeda
dengan susunan sebuah puisi. Impresi berbeda dengan ekspresi. Sebaliknya, bagi
seorang pelukis yang menggunakan teknik apa pun, setiap impresi juga dibentuk
oleh hasil pelukisnya, karena pelukis belajar dari pengalaman yang tuntas.
“Inspirasi”
adalah sebutan tradisional untuk faktor bawah sadar dalam proses penciptaan.
Apakah inspirasi tidak bisa didatangkan? Kebiasaan kreatif dan ritual serta rangsangan
dapat diusahakan. Penyair-penyair mantis (juru ramal) pada masyarakat primitif
diajari cara menyiapkan diri supaya dapat menjadi “kesurupan”. Seperti halnya
pengikut aliran kepercayaan di Timur, yang dianjurkan memakai waktu dan tempat
khusus untuk berdoa, dan mengucapkan seruan-seruan yang diulang-ulang atau
mantra, penyair modern belajar atau mengira dapat belajar mencapai situasi
kreatif.
Sastrawan
adalah spesialis dalam membuat asosiasi, disosiasi, dan mengkombinasikan
kembali unsur-unsur yang dialami secara terpisah. Sastrawan mengumpulkan
kata-kata seperti anak kecil mengumpulkan boneka, perangko, atau binatang
peliharaan. Bagi penyair, kata-kata bukanlah “tanda” suatu pasangan yang
transparan. Melainkan “simbol”, yang mempunyai nilai dirinya sendiri di samping
sebagai alat untuk mewakili hal lain. Frase “asosiasi ide” adalah istilah yang
kurang tepat untuk menggambarkan kecenderungan sastrawan terhadap bahasa.
Selain hubungan asosiasi kata dengan kata, ada juga asosiasi pikiran dengan objek. Kategori utama asosiasi semacam
ini adalah kaitan antara tempat dan waktu, serta antara persamaan dan perbedaan.
Untuk
seniman-seniman tertentu, psikologi membantu mengentalkan kepekaan mereka pada
kenyataan, mempertajam kemampuan pengamatan, dan memberi kesempatan untuk
menjajaki pola-pola yang belum terjamah sebelumnya. Tapi psikologi itu sendiri
baru merupakan suatu persiapan penciptaan. Di dalam karya sastra, kebenaran
psikologis baru mempunyai nilai artistik jika ia menambah koherensi dan
kompleksitas karya. Dengan kata lain, jika kebenran psikologis itu sendiri
merupakan suatu karya seni.
BAB
9
SASTRA
DAN MASYARAKAT
Pembahasan
hubungan sastra dan masyarakat biasanya bertolak dari frase De Bonald bahwa
“sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat”. Tapi sebaiknya kritik yang berbau
penilaian kita tangguhkan dulu sampai kita menemukan hubungan yang nyata antara
sastra dan masyarakat. Hubungan yang bersifat deskriptif dapat kita
klasifikasikan sebagai berikut:
Pertama
adalah sosiologi pengarang, dan institusi sastra. Masalah yang berkaitan di
sini adalah dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial, status
pengarang dan ideologi pengarang yang terlihat dari berbagai kegiatan pengarang
di luar karya sastra. Yang kedua adalah isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal
lain yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri dan yang berkaitan dengan
masalah sosial. Yang terakhir adalah permasalahan pembaca dan dampak sosial
karya sastra. Sebelum kita sampai kepada masalah lebih lanjut, yaitu integrasi
budaya, kita harus menjelaskan terlebih dahulu apa yang kita maksudkan dengan
ketergantungan atau hubungan sebab-akibat antara sastra dan masyarakat.
Biografi
pengarang adalah sumber utama, tetapi studi ini juga dapat meluas ke lingkungan
atau milieu tempat pengarang tinggal
dan berasal. Kita dapat mengumpulkan informasi tentang latar belakang sosial,
latar belakang keluarga, dan posisi ekonomi pengarang. Kita dapat menunjukkan
apa peran kelompok bangsawan, kaum borjuis, dan kaum proletar dalam sejarah
sastra. Asal-usul sosial seorang pengarang hanya sedikit sekali berperan dalam
menjawab masalah status sosial, keterlibatan, dan ideologi, sebab sering pengarang
melayani kebutuhan kelas lain.
Keterlibatan
sosial, sikap, dan ideologi pengarang dapat dipelajari tidak hanya melalui
karya-karya mereka, tetapi juga dari dokumen biografi. Sudah banyak dibuat
penelitian tentang pandangan politik dan sosial pengarang. Jika disusun secara
sistematis, masalah asal, keterlibatan, dan ideologi sosial akan mengarah pada
sosiologi pengarang sebagai tipe, atau sebagai suatu tipe pada waktu dan tempat
tertentu. Posisi sastrawan dalam masyarakat dapat ditelusuri secara jelas dalam
sejarah. Pada Abad Pertengahan, kita mengenal beberapa macam pengarang. Ada
biarawan yang mengarang di ruang kecilnya, trubadur dan Minnesanger di istana raja atau baron, dan ilmuwan pengelana di
jalan-jalan. Pada zaman Renaisans muncul kelompok penyair yang tidak mau
terikat. Kaum penyair humanis ini berkelana dari satu negara ke negara lain,
menawarkan jasa mereka kepada para pelindung.
Jadi,
studi dasar ekonomi sastra dan status sosial pengarang mau tak mau harus
memperhitungkan pembaca yang menjadi sumber rezekinya. Bangsawan adalah
pelindung seni merangkap pembaca yang cerewet. Bagaimanapun, pola-pola lama
belum sepenuhnya berubah. Grafik naik-turunnya reputasi dan kemasyhuran
pengarang, sukses dan bertahannya suatu buku, adalah fenomena sosial.
Stratifikasi setiap kelompok masyarakat terdiri atas stratifikasi seleranya. Norma
kelas atas sering menular ke kelas bawah. Tapi kadang-kadang arah pengaruh
berbalik. Mode adalah gejala yang penting dalam sastra modern. Dalam masyarakat
modern yang cair dan penuh persaingan, norma-norma kelas atas cepat ditiru dan
cepat pula diganti dengan yang baru.
Meskipun
banyak bukti dikumpulkan, jarang ditarik kesimpulan mengenai hubungan yang
pasti antara produksi sastra dengan dasar ekonomi, atau mengenai pengaruh yang
pasti dari publik terhadap sastrawan. Kita dapat membuat hipotesis bahwa
anak-anak muda lebih langsung dan lebih mudah terpengaruh bacaan daripada orang
tua dan bahwa pembaca yang kurang berpengalaman memperlakukan sastra secara
lebih naif. Pendekatan yang umum dilakukan terhadap hubungan sastra dan
masyarakat adalah mempelajari sastra sebagai dokumen sosial, sebagai potret
kenyataan sosial. Sebagai dokumen sosial, sastra dipakai untuk menguraikan
ikhtisar sejarah sosial. Potret sosial Amerika dapat disusun dari novel-novel
Harriet Beecher Stowe, Howells, sampai Farrell dan Steinbeck.
Situasi
sosial memang menentukan kemungkinan dinyatakannya nilai-nilai estetis, tapi
tidak secara langsung menentukan nilai-nilai itu sendiri. Kita dapat
mempelajari secara garis besar, bentuk-bentuk seni apa yang mungkin timbul pada
suatu masyarakat, dan mana yang tidak mungkin muncul. Tetapi masalah sastra dan
masyarakat dapat diletakkan pada suatu hubungan yang lebih bersifat simbolik
dan bermakna: kita dapat memakai istilah-istilah yang mengacu pada integrasi
sistem budaya, dan keterkaitan antara berbagai aktivitas manusia.sastra
mempunyai tujuan dan alasan keberadaannya sendiri.
BAB
10
SASTRA
DAN PEMIKIRAN
Memang
karya sastra dapat dianggap sebagai dokumen sejarah pemikiran dan filsafat,
karena sejarah sastra sejajar dan mencerminkan sejarah pemikiran. Secara
langsung atau melalui alusi-alusi dalam karyanya, kadang-kadang pengarang
menyatakan bahwa ia menganut aliran filsafat tertentu, mempunyai hubungan
dengan paham-paham yang dominan pada zamannya, atau paling tidak mengetahui
garis besar ajaran paham-paham tersebut. Meskopun demikian, “Sejarah Pemikiran”
perlu disambut baik oleh peminat sastra. Manfaat pengetahuan sejarah filsafat
bagi pemahaman karya sastra memang sangat besar. Tidak dapat disangkal, sastra
Inggris dapat dipakai untuk menjelaskan sejarah filsafat.
Pada
kesusastraan lain, studi pengaruh pemikiran pada karya sastra mungkin lebih
kaya lagi. Tetapi apakah standar filosofis dapat kita jadikan kriteria kritik
sastra? Sejumlah metode yang berkembang di Jerman mencoba memperhatikan
keberatan-keberatan terhadap penekanan unsur ilmiah yang berlebihan dalam
pendekatan filsafat. Unger mengklasifikasikan permasalahan yang digarap
pengarang sebagai berikut. Pertama, masalah nasib. Yang dimaksudkannya di sini
adalah hubungan antara kebebasan dan keterpaksaan, semangat manusia dan alam.
Kedua, masalah keagamaan, termasuk interpretasi tentang Kristus, sikap terhadap
dosa dan keselamatan .
Ketiga,
masalah alam, perasaan terhadap alam, juga mitos dan ilmu gaib. Keempat,
masalah manusia. Permasalahan ini menyangkut konsep manusia, hubungan manusia
dengan kematian dan konsep cinta. Kelima, masalah masyarakat, keluarga, dan
negara. Sikap seorang penulis harus dipelajari dari segi kelima jenis
permasalahan ini. Sejarah tentang sikap dan perasaan sulit disusun karena
perasaan tak dapat diukur, dan di mana-mana sama saja. Di dalam mempelajari
pengarang secara perorangan, pendekatan Unger mempunyai kelebihan, karena
meneliti sikap dan pemikiran yang tidak diformulasikan dengan terlalu nyata dan
jelas. Studi sikap pengarang semacam itu mendorong para pemikir Jerman untuk
menjajaki kemungkinan menyederhanakan permasalahan sikap pengarang dalam
klasifikasi berdasarkan tipe Weltanschauung.
Yang paling terkenal adalah teori Dilthey.
Di
Jerman minat untuk membuat spekulasi semacam ini besar sekali dan banyak
variasi diciptakan. Kalau diperhatikan dengan akal sehat, barangkali kita perlu
mencurigai kerapian skema ini, juga tipe ketiga yang terlalu ditinggikan
kedudukannya. Sebetulnya, perlu kita pertanyakan, apakah mungkin terjadi
integrasi total antara tiga hal: waktu, ras, dan karya sastra. Paralelisme,
apalagi antara filsafat dan puisi, perlu diragukan. “Semangat Jaman” dapat
dijadikan pegangan untuk menjelaskan perubahan gaya dan ragam sastra dari zaman
satu ke zaman lainnya. Tetapi jika “semangat jaman” dibakukan menjadi sesuatu
yang absolut dan menjadi patokan mitos yang tetap untuk setiap zaman pendekatan
ini berbahaya.
Dunia
buatan Geistegeschichte tidak dapat
menjawab permasalahan umum sejarah umat manusia atau paling tidak sejarah
kebudayaan Barat. Sebetulnya, ilmuwan tidak perlu membuat spekulasi atas
permasalahan yang terlalu besar seperti sejarah filsafat dan integrasi budaya.
Pada perhatian ilmuwan perlu dialihkan kepada masalah-masalah kongkret yang
belum dipecahkan, bahkan belum cukup dibicarakan. Pertanyaan yang perlu
dijawab, misalnya adalah bagaimana dan kapan pemikiran masuk ke dalam
kesusastraan. Yang dimaksud dengan pemikiran di sini bukan pemikiran yang
dipakai hanya sebagai bahan mentah atau informasi. Permasalahan masuknya
pemikiran dalam kesusastraan baru muncul kalau pemikiran mulai diwujudkan dalam
tekstur karya sastra dan menjadi bagian dari karya sastra.
BAB
11
SASTRA
DAN SENI
Hubungan
sastra dengan seni rupa dan seni musik sangat beragam dan rumit. Kadang-kadang
puisi mendapat inspirasi dari lukisan, patung, atau musik. Sebaliknya,
sebagimana sastra terutama lirik dan drama banyak memakai musik, sastra juga
bisa menjadi tema seni lukis atau musik terutama seni suara dan musik program. Di
samping masalah sumber dan pengaruh, inspirasi dan kerja sama, ada masalah lain
yang lebih penting. Karya sastra sering menghasilkan efek yang sama dengan efek
sebuah lukisan atau menghasilkan efek musikal. Ada kalanya puisi menjadi mirip
patung.
Apakah
puisi dapat mencapai kesan seperti musik, lebih diragukan lagi, meskipun banyak
yang berpendapat bahwa hal itu mungkin. Unsur musik dalam sajak, kalau
dianalisis, ternyata berbeda dengan melodi musik. Banyak puisi yang ditulis
dengan maksud dijadikan musik, misalnya aria zaman Elizabeth dan libretto untuk
opera. Kesejajaran sastra dan seni sering membuat orang merasa bahwa lukisan
dan puisi tertentu manghasilkan suasana hati yang sama. Jadi, kesejajaran dua
cabang seni yang hanya didasarkan pada reaksi emosional penonton saja tidak
akan membantu meningkatkan pengetahuan.
Salah
satu pendekatan lain adalah dengan mencari maksud dan teori seniman
penciptanya. Pasti kita dapat menunjikkan kesamaan teori dan formula di
balik dua karya seni yang bebeda. Hanya
seni patung dan arsitektur yang dapat dibentuk oleh contoh-contoh Klasik.
Jumlah tiruan karya arsitektur dan patung Klasik melebihi jumlah tiruan Klasik
pada karya sastra dan karya seni lainnya. Jadi, teori dan maksud yang disadari
seniman sering berbeda-beda pada setiap cabang seni, dan tidak banyak membantu
kita memahami hasil kongkret si seniman: karyanya, bentuk, serta isinya yang
spesifik.
Bukti
bahwa pendekatan melalui maksud pengarang tidak dapat diandalkan terlihat dari
kasus-kasus yang jarang terjadi, yakni ketika penyair merangkap menjadi
seniman.pendekatan yang lebih bermanfaat dari pendekatan melalui maksud
pengarang adalah perbandingankarya seni berdasarkan latar sosial dan budaya yang
sama. Kesejajaran sejati yang datang dari kesamaan latar sosial dan intelektual
jarang dianalisis secara kongkret. Nampaknya, pendekatan utama untuk
membandingkan beberapa cabang seni adalah analisis objek seni yang kongkret.
Jadi, yang dilihat adalah hubungan struktural.
Usaha
yang paling nyata untuk memindahkan kategori sejarah seni pada kesusastraan
adalah penelitian Oskar Walzel, yang memakai kriteria Wofflin. Wofflin
membedakan seni Barok dan Renaisans berdasarkan strukturnya. Ia membuat skema
dua pertentangan dua hal yang bertolak belakang, yang bisa diterapkanpada
setiap lukisan, patung, atau arsitektur zaman itu. Lukisan Renaisans bersifat
“pipih” atau dibuat di atas bidang-bidang datar yang tersusun, sedangkan
lukisan Barok “dalam”, mengarahkan pandangan mata pada latar yang jauh dan
tidak jelas. Wofflin mebuktikan kesimpulannya melalui analisis yang sangat peka
terhadap setiap karya seni yang dinikmatinya, dan memperlihatkan pergeseran
yang tak terelakkan dari gaya Renaisans ke gaya Barok.
Sebagian
dari gaya Wofflin memang dengan mudah dan jelas dapat diformulasikan kembali ke
dalam istilah sastra. Nampaknya, memang mudah mengkontraskan bentuk-bentuk yang
jelas dengan seni-seni yang memiliki komposisi longgar dan bentuk kabur.
Pengalihan pasangan kontras Wofflin tidak memecahkan satu masalah penting. Kita
tidak dapat menerangkan kenyataan bahwa cabang-cabang seni tidak berkembang
dengan kecepatan yang sama pada satu waktu yang sama. Akhirnya, kita dihadapkan
pada satu masalah lain lagi. Pada satu waktu tertentu atau pada kesusastraan
nasional tertentu, satu atau dua cabang seni sangat produktif.
BAB
12
MODUS
KEBERADAAN KARYA SASTRA
Untuk
menjawab pertanyaan apa dan di mana puisi atau karya sastra pada umumnya,
beberapa pendekatan tradisional menawarkan jawaban. Tetapi jawaban itu harus
dikritik dan dikesampingkan, sebelum kita mencari jawaban sendiri. Jawaban yang
paling umum dan tua adalah bahwa puisi merupakan sebuah “artefak”, sebuah objek
yang sama dengan lukisan atau patung. Jadi, karya sastra bisa disamakan dengan
garis-garis hitam pada kertas putih, atau naskah kuno, atau seperti puisi
Babilon, tulisan yang ditatah pada batu bata.
Ada
suatu pembuktian lain bahwa tulisan pada kertas atau cetakan pada buku bukanlah
puisi yang “sebenarnya”. Satu halaman buku terdiri dari banyak unsur yang tidak
termasuk puisi: besar-kecilnya tipe huruf, jenis huruf (Roman atau Italik),
ukuran kertas dan lain-lain. Tidak dapat disangkal bahwa banyak karya sastra
lenyap dan musnah karena tulisannya hilang. Sarana tradisi oral yang secara
teoretis bisa dipakai untuk menyelamatkannya, ternyata gagal berfungsi atau
terputus. Lagi pula, dalam periode-periode tertentu dalam sejarah puisi,
lukisan grafis telah menjadi bagian dari puisi.
Ideogram
yang berbentuk gambar pada puisi Cina, menurut Ernest Fenollosa, merupakan
bagian dari makna puisi. Penentuan akhir setiap baris, pengelom[okan baris
menjadi stansa dan alinea (pada prosa), persajakan dan permainan kata yang
hanya dapat dilihat melalui ejaan, dan banyak teknik grafis lain harus dianggap
sebagai faktor integral dalam karya sastra. Tetapi yang penting disadari adalah
bahwa pada setiap pembacaan sebuah puisi selalu muncul unsur-unsur yang
melebihi puisi itu sendiri. Pembacaan puisi tidak sama dengan puisi itu
sendiri, karena kita selalubisa mengoreksi setiap pembacaan dalam hati.
Jawaban
yang ketiga merupakan jawaban yang umum kita dengar. Puisi adalah pengalaman
pembacanya. Sebuah puisi tak lebih dari proses mental masing-masing pembaca.
Jadi, sama dengan keadaan mental atau proses yang kita rasakan ketika membaca
atau mendengarkan puisi. Pandangan bahwa pengalaman mental pembaca adalah puisi
itu sendiri, mengarahkan kita pada kesimpulan: puisi itu tidak ada kecuali
kalau dialami dan diciptakan kembali dalam setiap pengalaman pembaca. Biarpun
menarik dan bermanfaat untuk pendidikan, psikologi pembaca akan selalu berada
di luar objek studi sastra yakni karya sastra yang nyata dan tidak mampu
menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang struktur dan nilai karya sastra.
Alternatif
lain bahwa puisi merupakan pengalaman total sadar dan tak sadar pada waktu
penciptaan, juga tidak memuaskan. Cara yang lebih baik adalah membuat batasan
karya sastra yang berkaitan dengan pengalaman sosial dan kolektif. Jawaban yang
dikaitkan dengan psikologi perorangan atau sosial tidak dapat ditemukan. Puisi
bukanlah pengalaman perorangan maupun gabungan pengalaman. Puisi hanya
merupakan suatu penyebab potensial dari pengalaman. Tetapi ini merupakan
masalah lanjutan. Kita masih harus memutuskan di mana dan bagaimana norma-norma
ini hidup.
Metode
yang dipakai dalam mendeskripsikan dan menganalisisberbagai strata karya
sastra: (1) strata bunyi, efoni, ritme, dan mantra, (2) unit makna yang
menetukan strukturlinguistik formal, gaya serta pendekatan stilistika yang
mempelajari gaya dengan sistematik, (3) imaji dan metafor, teknik stilistika
yang paling puitis dan memerlukan pembahasan karena kedua teknik ini sangat
mengarah kepada (4) “dunia” karya sastra dalam simbol dan sistem yang kita
sebut mitos puitik. Dunia yang diproyeksikan oleh fiksi naratif menyajukan (5)
masalah khusus mengenai ragam dan teknik yang akan kita bahas pada bab berikutnya. Setelah
mempelajari metode analisis yang dapat diterapkan atas karya sastra, kita akan
menanyakan (6) sifat-sifatb genre sastra dan membicarakan permasalahan utama setiap
karya sastra, yakni (7) penilaian. Akhirnya, kiuta akan kembali pada pemikiran
tentang evolusi sastra dan membahas (8) sejarah sastra dan kemungkinan menyusun
sejarah sastra sebagai sejarah seni.
BAB
13
EFONI,
IRAMA, DAN MANTRA
Karya
sastra adalah urutan bunyi yang menghasilkan makna. Di dalam menganalisis efek
bunyi, kita harus mengingat dua prinsip pentingyang sering dilupakan.
Pertama-tama, kita harus membedakan penyajian puisi secara lisan dan pola suara
puisi. Asumsi kedua yang umum adalah bahwa bunyi harus dianalisis terpisah dari
makna. Dilihat dari keutuhan karya sastra, asumsi ini keliru dan jelas salah.
Lagi pula, bunyi secara tersendiri tidak atau sedikit sekali mempunyai efek
artistik. Paling tidak, puisi itu menampilkan warna emosi tertentu. Seandainya
pun ada, bunyi-bunyian itu tentu terkait dalam suatu hubungan yang sederhana
dan mendasar seperti yang diamati oleh Birkhoff dalam penelitiannya, Aesthetic Measure.
Kita
perlu membedakan dua macam unsur bunyi, yaitu un sur bunyi yang melekat dan
yang terkait. Unsur b unyi yang melekat misalnyaadalah kekhasan bunyi a, atau
o, atau l dan p, terlepas dari kuantitasnya. Sedangkan unsur bunyi yang terkait
yang merupakan dasar irama dan mantra adalah titi nada, lama bunyi, tekanan,
dan pengulangan. Unsur-unsur ini dapat disusun secara kuantitatif: tinggi atau
rendah, panjang atau pendek , takanan keras atau lemah, sering atau jarang. Di
dalam kelompok ini, kualitas bunyi merupakan unsur yang dimanipulasikan dan
dimanfaatkan oleh pengarang.
Kita
tidak boleh melupakan bahwa efek bunyi berbeda dari satu bahasa ke bahasa
lainnya. Tiap bahasa mempunyai sistem fonetiknya sendiri. Jadi, tiap bahasa
memiliki vokal-vokal yang bertolak belakang dan yang paralel, serta
konsonan-konsonan yang mirip. Rima adalah suatu gejala yang sangat rumit.
Sebagai pengulangan (atau mendekati pengulangan) bunyi, rima mempunyai fungsi
efoni. Menurut Henry Lanz dalam bukunya, Physical
Basic of Rime, rima vokal ditentukan oleh seringnya pengulangan nada
tambahannya. Yang lebih penting secara estetis adalah fungsi mantra yang
menandai berhentinya setiap baris puisi. Mantra juga sering berfungsi sebagai
satu-satunya penyusun pola stanza.
Irama
dan mantra membawa masalah yang lain di pengorkesan. Irama dan mantra sudah
dipelajari panjang lebar, dan berbagai buku ditulis tentang hal itu. Ada irama
alam, irama kerja, irama sinyal cahaya, irama musik. Secara kiasan, ada irama
seni plastis. Irama juga merupakan gejala linguistik. Kita memasuki wilayah
ilmu sastra kalau kita harus menerangkan sifat irama prosa, kekhasan dan
penggunaan prosa berirama, misalnya pada Bibel, pada karya Sir Thomas Browne,
Ruskin atau De Quincey, yang irama dan melodinya sangat menonjol bahkan menarik
perhatian pembaca yang kurang awas.
Tipe
kedua dalah teori “musik” yang didasarkan pada asumsi bahwa mantra dalam puisi
sama dengan irama musik. Karenanya menurut tipe ini mantra paling tepat
disimbolkan dengan notasi musik. Teori mantra ketiga disebut mantra akustik.
Teori ini sangat disukai dewasa ini. Teori ini didasarkan pada penelitian
objektif, dan sering memakai peralatan seperti osilograf yang dapat membuat
rekaman dan memotret pembacaan puisi. Mantra akustik telah berhasil meletakkan
unsur-unsur pembentuk mantra secara jelas. Tapi ilmu mantra laboratorium ini
jelas mengabaikan makna. Jadi, disimpulkan bahwa tak ada yang disebut suku
kata, karena yang ada hanyalah bunyi yang terus-menerus: tak ada kata, karena
batasan tidak nampak pada osilograf: tak ada melodi dalam arti sempit, karena
tinggi rendah suara yang dibangkitkan oleh vokal dan sejumlah konsonan sering
diinterupsi oleh bunyi-bunyi ribut.
Formalis-formalis
Rusia mencoba menempatkan studi mantra pada dasar yang lain sama sekali. Di
dalam mempelajari puisi dengan mantra biasa, peneliti-peneliti Rusia menerapkan
metode statistik untuk mencari kaitan antara pola dan irama ujaran yang
ditetapkan, dan irama percakapan sehari-hari. Metode statistik yang dipakai
sangatlah sederhana. Pada puisi atau bagian puisi yang dianalisis, kita
menghitung presentasi banyaknya suku kata yang mendapat tekanan. Ahli-ahli
mantra Rusia menekankan bahwa tiap aliran dan tiap pengarang akan membuat pola
ideal yang berbeda. Mantra dan buny harus dipelajari dalam totalitas karya
sastra dan tidak dapat dipisahkan dari makna.
BAB
14
GAYA
DAN STILISTIKA
Makna
puisi sangat kontekstual: tiap kata tidak saja membawa makna kamus, tetapi
lingkaran sinonim dan homonim. Kata-kata tidak hanya memiliki makna tertentu,
tetapi membangkitkan kesadaran pembaca pada kata-kata lain yang berkaitan
dengan bunyi atau makna kata tersebut, atau turunan dari kata itu, atau
kata-kata lain yang bertentangan atau tidak termasuk dalam jenis kata itu.
Tentu studi linguistik tidak hanya penting untuk memahami kata-kata dan frase.
Ada dua sudut pandang dalam mempelajari bahasa karya sastra. Kita dapat memakai
karya sastra sebagai dokumen sejarah linguistik. Tapi studi linguistik hanya
bermanfaat untuk studi sastra kalau bertujuan meneliti efek estetis bahasa.
Tentu
saja stilistika tidak dapat diterapkan dengan baik tanpa dasar linguistik yang
kuat, karena salah satu perhatian utamanya adalah kontras sistem bahasa karya
sastra dengan penggunaan bahasa pada zamannya. Di dalam prakteknya, kita hanya
menerapkan secara instingtif standar-standar yang kita peroleh dari pemakaian
bahasa zaman sekarang. Tapi kalau kita mengakui perlunya rekonstruksi sejarah
dalam kasus yang jelas seperti di atas, apakah berarti kita harus menghadapi
setiap kasus dengan cara yang sama. Seperti Teeter, kita dapat bertanya: apakah
tidak sebaiknya kita menghilangkan konotasi modern, dan dalam kasus-kasus yang
ekstrem, apakah hal itu mungkin?
Ada
usaha-usaha seperti yang dilakukan oleh Charless Ballyuntuk melihat stilistika
hanya sebagi satu bagian dari linguistik. Di dalam stilistika tradisional,
masalahnya biasanya dijawab dengan sembarangan saja. Bagaimanapun juga, tidak
mungkin kita membuktikan bahwa bentuk dan teknik tertentu mempunyai efek atau
nilai ekspresif yang pasti. Meskipun ada pandangan bahwa hubungan langsung
antarasatu bentuk tertentu dengan satu nilai ekspresif tertentu harus
ditinggalkan, hubungan spesifik antara kecenderungan stilistika dan efeknya
bukan tidak mungkin ada. Berdasarkan kaitan kata dengan sebuah objek, gaya dibagi
menjadi gaya konseptual dan gaya indrawi, gaya ringkas dan gaya bertele-tele,
merendahkan atau melebih-lebihkan, jelas atau kabur, tenang atau menggebu-gebu,
tinggi atau rendah, sederhana atau berbunga-bunga.
Berdasarkan
hubungan antar kata, gaya bisa diklasifikasikan menjadi gaya tegang atau lepas,
plastik atau musikal, halus atau kasar, tak berwarna atau warna-warni.
Berdasarkan kaitan kata dengan sistem total bahasa, gaya bisa dibagi menjadi
gaya lisan atau tulisan, klise atau unik, dan berdasarkan hubungan kata dengan
pengarangnya, ada gaya yang objektif dan subjektif. Sayangnya banyak penelitian
di bidang ini yang bertujuan sempit dan bersifat menggurui. Stilistika dipakai
untuk merekomendasikan gaya “menengah” tertentu yang menekankan kejelasan,
ketepatan, dan mengarah ke disiplin pendidikan tertentu atau untuk mengagungkan
bahasa tertentu. Manfaat stilistika yang sepenuhnya bersifat estetis, membatasi
lingkup bidang ini khusus untuk studi karya sastra dan kelompok karya yang
dapat diuraikan fungsi dan makna estetisnya.
Analisis
stilistika akan membawa keuntungan besar bagi studi sastra jika dapat menetukan
suatu prinsip yang mendasari kesatuan karya sastra, dan jika dapat menemukan
suatu tujuan estetika umum yang menonjol dalam sebuah karya sastra dari
keseluruhan unsurnya. Ilmuwan-ilmuwan Jerman juga mengembangkan pendekatan
sistematis yang disebut Motiv un Wort. Pendekatan
ini didasarkan pada asumsi paralelisme antar kecenderungan linguistik dengan
unsur isi. Memang, bagaimanapun hebatnya penelitian yang dilakukan, stilistika
psikologis terbuka pada dua kelemahan. Banyak hubungan yang ditemukan yang
tidak didasarkan pada kesimpulan dari bahan-bahan linguistik.
Kalau
kita dapat menguraikan gaya suatu karya atau pengarang, tidak diragukan lagi
bahwa kita pun dapat menguraikan gaya sekelompok karya, dan genre, seperti
novel Gotik, drama Elizabeth, dan puisi Metafisik. Sejarah seni telah menyusun
beberapa gaya yang sudah diakui, seperti gaya Klasik, gaya Gotik, gaya
Renaisans, dan gaya Barok. Nampaknya, hal ini menarik peneliti untuk
mengalihkan istilah-istilah itu ke bidang kesusastraan. Tetapi dalam
menerapkannya, kita kembali berhadapan dengan masalah hubungan sastra dan seni,
paralelisme antar cabang seni, dan urut-urutan periodesasi sejarah peradaban.
BAB
15
CITRA,
METAFORA, SIMBOL, DAN MITOS
Secara
semantik keempat istilah ini memang saling bertumpang tindih: keempatnya jelas
menunjuk ke suatu titik perhatian yang sama. Yang pertama adalah keistimewaan
indrawi, atau unsur-unsur estetik dan indriawi yang menghubungkan puisi dengan
musik dan lukisan, serta membedakannya dengan filsafat dan ilmu pengetahuan.
Yang kedua adalah “perlambangan” atau “tropologi” wacana “tidak langsung” yang
berbicara dengan bahasa metonimia dan metafora yang membandingkan dua dunia,
dan menyampaikan tema melalui pemindahan dari satu idiom ke idiom lain.
Pencitraan adalah topik yang termasuk dalam bidang psikologi dan studi sastra.
Dari
pengertian pertama yang melihat pencitraan sebagai perwujudan kembali
bekas-bekas pengindriaan, kita beranjak ke pengertian kedua, yaitu pencitraan
sebagai analogi dan perbandingan. Seperti “citra” atau “imaji” yang melahirkan
aliran imajisme, “simbol” juga melahirkan suatu aliran sastra yaitu simbolisme.
Seperti “citra”, simbol muncul dalam konteks yang sangat beragam dan digunakan
untuk berbagai tujuan. Simbol adalah suatu istilah dalam logika, matematika,
semantik, semiotik, dan epistemologi: simbol juga memiliki sejarah panjang di
dunia teotologi. Apakah perbedaan yang penting antara ‘simbol’ dengan
“metafora” dan “citra”? yang pertama harus dicatat, simbol selalu secara terus
menerus menampilkan dirinya. Suatu “citra” dapat dibangkitkan melalui sebuah
metafora. Tetapi jika citra itu terus menerus muncul sebagai suatu perwujudan
yang mewakili sesuatu, citra itu pun menjadi simbol dan bahkan dapat menjadi
bagian dari sistem yang simbolis, sistem yang mengandung mitos.
Di
dalam membahas simbolisme puitis, biasanya kita membedakan “simbolisme pribadi”
penyair modern dengan simbolisme yang pernah dipakai pengarang-pengarang
sebelumnya dan yang sudah dipahami secara luas. Istilah “konvensional” atau
“tradisional” tidak cocok karena bertentangan dengan sifat ideal puisi yang
kita harapkan selalu memberikan hal-hal yang baru dan lain dari biasanya. Jadi,
simbolisme pribadi lebih menyiratkan suatu sistem, dan setiap ilmuwan sastra
dapat menafsirkannya. Seperti seorang ahli naskah kuno memecahkan kode-kode
bahasa yang dikenalnya.
Di
luar simbolisme pribadi dan simbolisme tradisional, ada satu kutub lagi, yaitu
“simbolisme alami” yang juga permasalahan. Banyak puisi Frost memakai
simbol-simbol yang alami dan sukar dijelaskan acuannya. Pembaca karya-karya
Frost jarang salah menafsirkan puisi-puisinya. Tetapi simbolisme alami Frost,
yang merupakan salah satu penyebab kepopulerannya, sering merugikan karena
diinterpretasikan terlalu kaku dan pasti oleh sebagian pembacanya. Padahal,
kekakuan dan kepastian bukan merupakan ciri pernyataan puitis, terutama
pernyataan puitis zaman modern.
Istilah
keempat adalah “mitos”, yang dipakai oleh Aristoteles dalam Poetics untuk mengacu pada alur struktur
naratif, atau “fabel”. Lawan katanya adalah logos. “Mitos” adalah naratif,
cerita yang dikontraskan dengan wacana dialektis, eksposisi. Mitos bersifat
irasional dan intuitif, bukan uraian filosofis yang sistematis seperti tragedi
Aeschylus dibandingkan dengan wacana dialektis Socrates. Mitos adalah istilah
yang populer dalam kritik modern. Menurut sejarahnya, mitos mengikuti dan
berkaitan erat dengan ritual.mitos adalah bagian ritual yang diucapkan, cerita
yang diperagakan oleh ritual. Untuk bidang sastra, motif-motif mitos yang
penting adalah citra atau gambaryang ditampilkan, unsur mitos yang bersifat
sosial atau supernatural, cerita atau unsur naratifnya, segi arketip atau
universalnya, perwujundan simbolis dari hal-hal yang ideal dalam adegan-adegan
yang nyata, sifatnya yang menyiratkan ramalan, rencana, dan unsur mistiknya.
Untuk
banyak pengarang, mitos adalah salah satu unsur yang menyatukan puisi dan
agama. Memang ada pandangan modern yang menyatakan bahwa makin lama puisi akan
makin menggantikan agama yang tidak dipercayai lagi oleh kaum intelektual. Tapi
ada pandangan yang lebih kuat, yang mengatakan bahwa puisi tidak dapat terlalu
lama menggantikan agama, karena tidak akan bertahan lama. Agama memiliki
misteri yang jauh lebih mendalam dari puisi. Mitos keagamaan adalah metamor
puitis dalam skala besar.
Studi
sastra di masa lalu mempelajari citra metafora simbol dan mitos secara dangkal.
Keempat unsur ini dianggap sebagai dekorasi dan embel-embel retorika saja, karena
itu dipelajari sebagai bagian-bagian yang bisa dipisahkan dari keseluruhan
karya. Sepanjang 25 tahun terakhir dalam perkembangan studi sastra, teori dan
praktek citra, metafora, simbol, dan mitos dikembangkan. Banyak yang mencoba
memperkecil jumlah tipologi perlambangan yang membengkak sampai kurang lebih
250 macam. Ada yang membagi keseluruhan perlambangan menjadi dua kategori saja,
yaitu skema dan perlambangan. Ada lagi pembagian yang berdasarkan atas
“pencitraan verbal” dan “pencitraan pemikiran”.
Puisi-puisi
keagamaan (Katolik maupun Evangelis) dulu dianggap sangat metaforis dan memang
pada umunya demikian. Di antara jenis-jenis metafora yang sukar
diklasifikasikan, yang paling penting adalah metafora puitis yang umum dipakai
oleh satu aliran kesusastraan atau satu generasi tertentu. Kalau kita sudah
memindahkan perhatian dari motivasi metafora linguistis dan ritual, dan
mengalihkannya pada teleologi metafora puitis, kita harus membicarakan sesuatu
yang lebih luas, yakni fungsi sastra sebagai rekaan. Empat unsur dasar dalam
pengertian kita tentang metafora adalah metafora (1) sebagai analogi, (2)
sebagai visi ganda, (3) sebagai citra indrawi yang mengungkapkan hal-hal yang
tidak dapat dilihat, dan (4) sebagai proyeksi animistis.
Tiga
kategori yang paling tinggi ialah citra Tenggelam, citra Radikal, dan citra
Ekspansif. Singkatnya, citra Tenggelam adalah citra puisi Klasik; citra Radikal
banyak dipakai oleh penyair Metafisik dengan penyairnya yang paling menonjol,
Donne. Citra Ekspansif paling banyak dipakai oleh Shakespeare, Bacon, Browne,
dan Bueke. Kesamaan dari ketiga pencitraan ini adalah kesusastraannya yang
tinggi, ketiganya bersifat internal, subjektif, dan bidang-bidang persamaan
dalam metaforanya saling mempengaruhi bidang-bidang itu menghasilkan makna
baru; jadi, bersifat produktif dan kreatif.
BAB
16
SIFAT
DAN RAGAM FIKSI NARATIF
Realitas
dalam karya fiksi, yakni ilusi dan kenyataan dan kesan meyakinkan yang
ditampilkan kepada pembaca tidak selalu merupakan kenyataan sehari-hari. Dunia
atau kosmos seorang novelis pola atau
struktur atau organisme yang meliputi plot, tokoh, latar, pandangan hidup, dan
“nada” adalah unsur yang perlu kita pelajari, jika kita ingin membandingkan
sebuah novel dengan kehidupan, atau jika kita ingin menilai secara etika atau
sosial karya seorang novelis. Dengan memakai istilah “dunia”, kita memakai
istilah yang menyangkut ruang. Tapi “fiksi naratif” atau lebih tepatnya “
cerita” berkaitan dengan waktu atau urutan waktu. “Cerita banyak bersumber dari
“sejarah”. Novel bersifat realistis, sedangkan romansa bersifat puitis dan
epik.
Kritikus
yang menganalisis novel, umumnya membedakan tiga unsur pembentuk novel: alur,
penokohan, dan latar. Yang terakhir ini cenderung bersifat simbolis, dan dalam
teori modern disebut asmosphere (suasana)
dan tone (nada). Komposisi sebuah
novel disebut “motivasi” oleh ahli-ahli Rusia dan Jerman. Istilah ini
bermanfaat karena acuannya yang ganda. Bentuk penokohan yang paling sederhana
adalah pemberian nama. Setiap “sebutan” adalah sejenis cara memberi
kepribadian, menghidupkan. Ada penokohan statis dan penokohan dinami atau
penokohan berkembang. Yang terakhir terutama cocok untuk novel-novel panjang
seperti War and Peace dan kurang
cocok untuk drama yang mempunyai waktu naratif terbatas.
Latar
mungkin merupakan ekspresi kehendak manusia. Latar alami mungkin merupakan
proyeksi kehendak tersebut. Latar juga dapat berfungsi sebagai penentu pokok:
lingkungan dianggap sebagai penyebab fisik dan sosial, suatu kekuatan yang
tidak dapat dikontrol oleh individu. Tujuan dan efek narasi orang pertama
sangat beragam. Kadang-kadang efeknya adalah untuk mengaburkan si pencerita,
membuatnya tidak senyata tokoh-tokoh lain. Masalah utama dalam metode naratif
menyangkut hubungan pengarang dengan karyanya.
Ada
dua macam narasi yang merupakan deviasi dari ragam narasi epik: yang pertama
dapat disebut narasi romantik-ironis. Narasi ini menekankan sifat sastra
tulisan. Tujuan yang berbeda diusahakan oleh metode “objektif” atau “dramatik”
yang dikemukakan dan diilustrasikan oleh Otto Ludwig di Jerman, Flaubert, dan
Maupassant di Prancis, dan Henry James di Inggris. Objektif adalah istilah yang
lebih baik, karena istilah “dramatik” dapat berarti “dialog”, atau “aksi”,
“tindakan” dikontraskan dengan dunia dalam: dunia perasaan dan pikiran. Metode
objektif ini tidak boleh dianggap terbatas pada dialog dan tindakan yang
diceritakan.
Yang
merupakan unsur inti dari metode objektif adalah penyajian melalui waktu;
pembaca mengikuti semua proses yang dialami oleh tokoh-tokohnya. Tetapi
ringkasan semacam ini harus dibuat seminim mungkin. Novel periode Victoria
sering diakhiri dengan sebuah bab yang meringkas karir, perkawinan, dan
kematian yang akan dialami tokoh-tokoh sesudah ceritaberakhir. Menurut Henry
James, Howells, dan pengarang sezaman mereka kebiasaan ini merupakan perusakan
artistik. Menurut teori aliran objektif, pengarang tidak boleh memberitahu apa
yang akan terjadi kemudian, ia harus membuka gulungan cerita secara bertahap. Recit,adalah naratif yang telah terjadi,
dan yang sekarang diceritakan menurut hukum eksposisi dan deskripsi.
Oleh
ilmuwan Jerman, teknik khas novel objektif disebut erlebte Rede, dan ilmuwan Prancis menyebutnya le style indirect libre dan
le monologue interieur. Dujardin menjabarkan monolog interior sebagai suatu
teknik untuk secara langsung memperkenalkan kepada pembacakehidupan batin
tokoh-tokohnya, tanpa ada intervensi keterangan atau komentar dari
pengarang...” dan merupakan “ ekskresi pikiran yang paling dalam, yang sangat
dekat dengan alam bawah sadar...” dalam The
Ambassadors, menurut Lubbock, Henry James tidak “menceritakan tentang
pikiran Strether, tetapi ia membuat pikiran itu bercerita langsung, ia
mendramatisasikan pikiran itu.
Peneliti
kit tentang stratum ketiga, yaitu “dunia diksi” (alur, tokoh, latar) telah kita
bahas dengan mengacu pada novel , tetapi pembahasan ini juga dapat diterapkan
ke drama, yang juga merupakan karya sastra. Stratum keempat dan yang terakhir,
yakni “kualitas metafisik” dekat kaitannya dengan “dunia” rekaan. Stratum
tersebut sama dengan “pandangan terhadap hidup” atau nada yang tersirat dari
dunia rekaan.
BAB
17
GENRE
SASTRA
Jenis
sastra bukan sekadar nama, karena konvensi sastra yang berlaku pada suatu karya
membentuk ciri karya tersebut. Jenis sastra dapat dianggap sebagai suatu
perintah kelembagaan yang memaksa pengarangnya sendiri. Jenis sastra adalah
suatu “lembaga” seperti halnya gereja, universitas, atau negara. Jenis sastra
hidup tidak seperti binatang atau bangunan, kapel, perpustakaan atau istana
negara, tetapi seperti sebuah institusi. Teori genre adalah suatu prinsip
keteraturan: sastra dan sejarah sastra diklasifikasikan tidak berdasarkan waktu
atau tempat, tetapi berdasarkan tipe struktur atau susunan sastra tertentu.
Apakah
genre bersifat tetap? Mungkin tidak. Dengan penambahan beberapa karya baru,
kategori bergeser. Memang salah satu ciri penulisan kritik adalah penemuan dan
penyebaran suatu pengelompokan baru, suatu pola generik baru. Aristoteles dan
Horace memberikan dasar klasik untuk pengembangan teori genre. Dari mereka kita
mendapat penggolongan dua jenis utama sastra, yaitu tragedi dan epik. Viktor
menyarankan agar istilah genre tidak diapakai untuk ketiga kategori di atas,
dan juga tidak untuk pembagian jenis secara historis menjadi tragedi dan komedi.
Ada beberapa penelitian yang berusaha mencari sifat-sifat dasar ketiga jenis
ini dengan cara membuat perbedaan dimensi waktu dan morfologi linguistik.
Salah
satu kecanggungan teori semacam itu adalah kenyataan bahwa dalam zaman kita
sekarang, drama mempunyai dasar yang berbeda dari epik. Puisi eligi dan iambic
biasanya diiringi oleh seruling, dan puisi melic atau lirik diiringi oleh lira.
Sekarang puisi dan novel adalah karya tulis yang umunya dibaca oleh
masing-masing pembaca. Pada intinya drama bersifat sastra. Cerpen hampir
menyamai drama karena sifat objektifnya. Sebagian besar terdiri dari dialog
murni. Sedangkan novel tradisional seperti epik, mempunyai dialog campuran,
pengajian langsung, ada narasi. Epik dan novel adalah bentuk-bentuk gabungan,
kita perlu membagi komponen-komponennya menjadi “narasi langsung” dan “narasi
melalui dialog”. Penggolongan tiga jenis pokok itu akhirnya berubah menjadi
narasi dialog dan lagu. Pada abad ke-18 prosa dianggap terdiri dari dua
spesies: novel dan romansa. Pembagian semacam inilah yang berada pada urutan
kedua yang sebaiknya disebut sebagai “genre”. Abad ke-17 dan abad ke-18 adalah
abad yang menganggap genre sebagai sesuatu yang serius. Di dalam doktrin
Neoklasik genre mempunyai perbedaan yang
jelas dan harus selalu dibedakan.
Setelah
itu Blair mulai membahas dengan perincian yang kaku, dua jenis penulisan puitis
yang paling tinggi, yaitu puisi epik dan dramatik. Untuk yang terakhir kali
iniseharusnya ia memberi istilah yang lebih tepat, yaitu tragedi. Teori
Neo-Klasik tidak menerangkan, menguraikan, atau mempertahankan doktrin
perbedaan jenis atau dasar pemikiran tersebut. Karena berdasarkan sejarahnya,
aliran Neo-Klasik adalah percampuran antara rasionalisme dan sikap otoriter,
kecenderungannya adalah bersikap konservatif, mempertahankan sejauh mungkin
jenis-jenis yang berasal dari tradisi kuno, terutama jenis tradisi puitis.
Kesetiaan
pada jenis adalah sebuah doktrin yang dipelopori oleh pendukung tragedi Prancis
Klasik, yang tidak menyukai kebiasaan tragedi Elizabeth untuk memasukkan
adegan-adegan lucu. Kita mungkin cenderung untuk tidak melanjutkan sejarah
genre setelah abad ke-18. orang tidak mengharapkan lagi bahwa puisi dibuat
dengan struktur pola yangberulang. Tapi, sebetulnya dapat dikatakan bahwa ada
pergeseran konsepsi genre pada abad ke-19, bukan bahwa kepatuhan terhadap genre
sudah tidak ada sama sekali. Pembaca abad ke-19 semakin luas; dengan demikian,
semakin banyak genre baru muncul. Teori Klasik juga membuat perbedaan sosial
tiap genre. Epik dan tragedi menyangkut masalah raja-raja dan kaum bangsawan,
komedi menyangkut kelas menengah, dan satire atau farce adalah untuk kelas rakyat.
Kesenangan
orang terhadap karya sastra berasal dari gabungan rasa senang karena
mendapatkan sesuatu yang baru dan karena mengenali hal-hal yang terdapat di
karya sastra. Genre menampilkan keseluruhan teknik estetis yang dapat dipakai
oleh pengarang dan sudah dipahami oleh pembaca. Topik pertama menyangkut kaitan
antara genre-genre primitif dengan genre-genre sastra yang berkembang. Ahli
Formalis Rusia, Shklosvky, menganggap
bahwa bentuk-bentuk seni baru hanyalah merupakan kanonisasi genre-genre yang
lebih rendah. Genre-genre primitif atau dasar, yang kalau digabung-gabungkan
dapat menghasilkan genre yang lain, menurut Jolles adalah: Legende, Sage, Mythe, Ratsel, Spruch, Kasus, Memorabile, Marchen, Witz.
Masalah
yang lain, menyangkut kesinambungan genre-genre. Banyak yang sependapat bahwa
Brunetiere mengacaukan pendekatan genologi dengan memperkenalkan teori
semibiologinya mengenai “evolusi”. Kesimpulannya antara lain, bahwa sejarah
sastra Prancis yaitu khotbah abad ke-17 akhirnya berkembang menjadi puisi lirik
abad ke-19. Kesinambungan ini nampaknya didasarkan pada analogi kecenderungan
para pengarang khalayaknya quelques
tendances primordiales. Kita memang perlu mencari kesinambungan formal yang
lebih ketat untuk mempelajari pergantian dan kesatuan generik. Menulis sejarah
tanpa filsafat sejarah akan mengahsilkan sederetan catatan kronik saja. Sejarah
tragedi harus ditulis berdasarkan metode ganda. Pertama-tama harus dijabarkan
“tragedi” secara umum, untuk mencari persamaan umum istilah ini, lalu
menelusuri dengan cara membuat kronik, kaitan antara aliran tragedi satu
periode dan satu negara, dan aliran-aliran berikutnya.
Masalah
genre jelas merupakan masalah inti sejarah sastra dan sejarah kritik sastra,
serta kaitan antara keduanya. Masalah genre meletakkan masalah filosofis yang
menyangkut kaitan antara kelas dan individu pengarang, serta kaitan antara satu
orang dan banyak orang, dalam konteks sastra yang khusus. Masalah genre adalah
masalah yang menyangkut sifat dari bentuk-bentuk sastra yang universal.
BAB
18
PENILAIAN
Kita
perlu membedakan istilah “nilai” dan “penilaian”. Sepanjang sejarah, orng telah
tertarik dan menganggap sastra lisan maupun cetakan “bernilai” positif. Tetapi
kritikus dan filsuf yang membuat “penilaian” terhadap sastra atau karya sastra
tertentu mungkin mengambil keputusan yang negatif. Sifat, fungsi, dan penilaian
terhadap sastra harus saling berkaitan. Jadi, kita harus menilai sastra
berdasarkan sifat-sifatnya. Sastra murni, mungkin adalah imajisme atau tiruan
bunyi. Tetapi kalau kita terus mencari sastrab yang paling murni, kita harus
memecah-mecah campuran atau gabungan pencitraan visual dan efoni menjadi
lukisan atau musik. Akhirnya puisinya sendiri lenyap.
Konsep
tentang kemurnian adalah salah satu unsur analisis. Kita dapat mulai dengan
unsur yang lain, yaitu unsur susunan dan fungsi. Yang menentukan suatu karya
sastra atau bukan sastra, bukanlah unsur-unsurnya, tetapi bagaimana unsur-unsur
itu disatukan dan berfungsi. Sejumlah pembela sastra akan membantah bahwa
secara estetis sastra dapat dianggap sebagai “seni rupa”. Selebuhnya akan
menolak konsep-konsep seperti niali estetis dan “pengalaman estetis”, sejauh
istilah-istilah itu menyiratkan suatu kategori yang unik. Umumnya para filsuf
sepakat mengenai keunikan pengalaman estetis.
Karya
sastra adalah sebuah objek estetis, yang mampu membangkitkan pengalaman
estetis. Kriteria utama formalisme Rusia yang juga dipakai dalam penilaian
estetis lain adalah: kebaruan dan kejutan. Hambatan linguistik yang disebut
dengan istilah “klise” tidak akan langsung masuk dalam persepsi: kata-kata
dalam istilah yang klise tidak diperhatikan sebagai kata-kata, demikian pula
acuan kombinasi kata-kata dalam istilah klise. Kita baru “sadar” akan kata-kata
dan apa yang disimbolkannya, kalau kata-kata disusun secara segar dan
mengejutkan. Jadi, bahasa harus mengalami “deformasi”, dibentuk dengan gaya
yang kuno atau asing, atau dengan gaya “berbarisasi” untuk menarik perhatian
pembacanya.
Kriteria
kita adalah cakupan karya sastra: “integrasi imajinatif” dan “besarnya bahan
yang diintegrasikan”. Semakin ketat susunan sebuah puisi, semakin tinggi
nilainya, demikian menurut kritik formalisme. Dengan demikian aliran ini
membatasi diri pada karya-karya yang strukturnya sangat kompleks sehingga
sangat membutuhkan penjelasan. Yang dimaksudkan dengan keragaman bahan adalah
pemikiran, tokoh, dan tipe pengalaman sosial dan psikologis. Di dalam bukunya, Three Lectures on Aesthetics, Bosanquet
membedakan “keindahan yang mudah” dengan “keindahan yang sulit”, dengan
sifatnya yang “rumit, menegangkan, dan luas”. “keindahan yang sulit” dan
“kebesaran artistik” dapat disamakan, tetapi seni yang sempurna dan seni yang
besar tidak dapat disamakan.
Untuk
sejumlah ahli estetika, “kebesaran” suatu karya menyangkut kriteria
ekstra-estetis. Tetapi dalam sebuah karya seni sifat-sifat yang menentukan
kebesaran karya ini harus muncul dalam “situasi nilai yang diwujudkan”, sebagai
“ suatu nilai yang diwujudkan untuk dinikmati”. Ada pandangan bahwa gayanyalah
yang membuat Paradise Lost sebuah
puisi yang besar, meskipun doktrin yang disampaikannya dapat diabaikan.
Pandangan lain yang juga tidak bisa diterima adalah pandangan bahwa
“keselarasan organ” dapat dipisahkan dari puisi. Kritik formalisme mengandaikan
bahwa tidak perlu ada kesamaan kepercayaan antara pembaca dengan pengarang atau
puisi. Koherensi adalah kriteria estetis dan sekaligus kriteria logika.,
sedangkan kematangan adalah kriteria psikologis, dan “kebenaran
pengalaman” mengacu pada dunia di luar
karya sastra, yang menuntut perbandingan antara sastra dan kenyataan.
Sebelum
abad ke-19, diskusi mengenai penilaian biasanya terpusat pada peringkat (ranking) kedudukan dan hierarki
pengarang, terutama kedudukan pengarang klasik “yang tetap dan akan selalu
dikagumi”. Keinginan untuk mengukuhkan niali-nilai sastra yang objektif, bukan
berarti menjanjikan keterikatan pada sutu norma-norma yang statis, yang tidak
mengenal penambahan nama dan perubahan peringkat. Sebaliknya, ada juga
keinginan yang berlawanan, terutama dari kalangan anti-akademi di dalam atau di
luar universitas untuk mengukuhkan tirani perubahan yang tidak pernah berhenti.
Struktur
estetis dalam karya penyair-penyair di atas sangat kompleks dan kaya sehingga
dapat memuaskan generasi-generasi berikutnya. Tiap generasi selalu menyisakan
unsur-unsur karya sastra besar yang belum dijelajahi dan tiap generasi
menemukan adanya tingkatan atau strata yang “kurang indah” atau terkadang
jelek, tetapi secara keseluruhan tetap menganggap keseluruhan karya memuaskan.
Dengan demikian, sampailah kita pada sejenis generasionisme yang menolak
relativitas selera individu, tetapi memilih alternatifnya pada satu set
kriteria estetis yang tergantung pada perioden sejarah sastra.
Nampaknya,
kita juga sampai pada konsep “multi nilai”, yang menganggap bahwa karya-karya
sastra yang bertahan memenuhi selera berbagai generasi untuk berbagai alasan
yang berbeda. Dengan susah payah kita akan berusaha melampaui posisi ini. Dari
sini dapat disimpulkan bahwa, kita tidak perlu membatasi apresiasi zaman lampau
terhadap karya-karya klasik mereka pada argumen-argumen yang dikemukakan oleh
kritikus zaman itu. Tidak ada seorang kritikus pun yang kiranya dapat
sepenuhnya berpegang pada generasionismeatau yang sepenuhnya berpegang pada
absolutisme yang gersang dan pedagogik, dan membakukan peringkat.
Apa
yang ingin dibuktikan oleh aliran Formalisme adalah bahwa puisi bukanlah hanya
sebuah sebab atau sebab potensial dari “pengalaman puitis” pembaca, tetapi
merupakan kontrol yang sangat terorganisasi atas pengalaman pembacanya. Jadi,
pengalaman pembaca dapat disebut sebagai pengalaman puisi itu sendiri. Cara
menilai suatu puisi, menurut aliran ini adalah dengan mengalaminya mewujudkan
kualitas estetis yang bernilai dan mewujudkan kaitan struktur yang dapat
dilihat dalam puisi itu untuk semua pembaca yang kompeten. Niali-nilai itu secara
potensial ada pada struktur sastra: nilai-nilai itu dapat direalisasi dan
dihargai hanya kalau dibaca dan direnungkan oleh pembaca yang memenuhi
persyaratan. Jadi, perbedaan yang harus kita lihat adalah antara penilaian yang
terbuka dan penilaian tersirat. Istilah ini tidak boleh disalahartikan sebagai
penilaian sadar dan tidak sadar.
BAB
19
SEJARAH
SASTRA
Harus
diakui bahwa kebanyakan sejarah sastra adalah sejarah sosial atau sejarah
pemikiran dengan mengambil contoh karya sastra, atau impresi dan penilaian atas
beberapa karya sastra yang diatur kurang lebih secara kronologis. Banyak
sejarawan lain memperlakukan sastra sebagai dokumen untuk ilustrasi sejarah
nasional atau sejarah sosial, ada kelompok lain yang menyadari bahwa karya
sastra adalah seni nomor satu. Sayangnya kelompok ini tidak menulis sejarah.
Mereka hanya menampilkan satu seri esei tentang pengarang-pengarang tertentu,
yang saling dikaitkan oleh “pengaruh-pengaruh”, tetapi esei-esei itu tidak
didasarkan pada konsepsi evolusi sejarah yang nyata.
Mengapa
tidak ada dalam skala yang luas usaha untuk menelusuri evolusi sastra sebagai
seni? Salah satu penghalangnya adalah kenyataan bahwa analisis-analisis karya
sastra yang pernah dilakukan sebelumnya tidak konsisten dan sistematis.
Kesulitan lain adalah prasangka bahwa sejarah sastra tidak mungkin disusun,
kecuali berdasarkan suatu penjelasan kausal yang berkaitan dengan kegiatan
manusia. Kesulitan ketiga terletak pada seluruh konsepsi perkembangan seni
sastra. Untuk itu, cukup kita mengunjungi beberapa galeri seni yang disusun
menurut susunan kronologis, atau menurut “aliran”-nya. Mula-mula sejarah sastra
juga mempunyai masalah yang sama, karena mencoba menelususri sejarah sastra
sebagai seni, terpisah dari sejarah sosial, biografi pengarang, atau apresiasi
karya perorangan.
Tetapi
teoritikus yang mentah-mentah menolak bahwa satra mempunyai sejarah, W.P.Ker
mencoba membuktikan, misalnya bahwa kita tidak membutuhkan sejarah sastra,
karena objek-objek sastra selalu ada, bersifat “abadi”, dan karenanya tidak
mempunyai sejarah sama sekali. Seperti yang telah kita tunjukkan sebelumnya,
sebuah karya sastra tidak akan bersifat tetap sepanjang sejarah. Tetapi konsep
perkembangan satu seri karya sastra agaknyamerupakan konsep yang sangat sulit.
Di dalam pengertian itu, tiap karya sastra adalah suatu struktur yang tidak
dilanjutkan oleh karya sastra yang lain. Tetapi menurut argumen yang sama, kita
harus berhenti menulis sejarah bahasa, karena hanya ada sejarah manusia yang
membuat ujaran, dan kita juga harus berhenti menulis sejarah filsafat, karena
yang ada hanyalah sejarah manusia yang berpikir.
Tetapi
kenyataan bahwa situasi sastra dalam satu kurun waktu berubah dibandingkan
situasi sepuluh tahun atau seratus tahun yang lalu, belum cukup untuk membuat
dasar evolusi sejarah sastra, karena konsep perubahan juga dapat diterapkan
pada setiap gejala alam. Dapatkah kita berbicara tentang evolusi sastra dalam
salah satu pengertian di atas? Menurut Ferdinand Brunetiere dan John Addington
Symonds, kita dapat memakai kedua pengertian itu sekaligus. Mereka beranggapan
bahwa genre sastra dapat dianalogikan dengan spesies pada alam. Meskipun kita
telah menolak analogi biologis antara perkembangan sastra dan proses evolusi
dari lahir sampai kematian ide ini tidak hilang, dan bahkan baru-baru ini
dihidupkan kembali oleh Spengler dan Toynbee tapi “evolusi” dalam pengertian kedua
ini nampaknya lebih dekat dengan konsep evolusi sejarah.
Pembahasan
mengenai evolusi sastra ini mau tidak mau terpaksa bersifat abstrak. Kalau
perbandingan benar-benar difokuskan pada dua karya yang utuh, kita mungkin akan
sampai pada kesimpulan sejarah sastra yang mendasar, yaitu masalah
orisinalitas. Orisinalitas sering disalah artikan sebagai penyelewengan dari
tradisi. Studi kaitan antara dua karya atau lebih membawa kita ke masalah
evolusi sejarah sastra yang lebih jauh. Salah satu tipe seri evolusi dapat
disusun dengan cara memisahkan salah satu kecenderungan dalam karya sastra,
lalu menelususri perkembangannya dalam mencapai suatu tipe ideal. Kita mungkin
mengharapkan bahwa tipe penelitian semacam ini akan mengalahkan banyak
penelitian sejarah tentang tema dan motif seperti tema dan motif Hamlet, Don
Juan, dan Orang Yahudi yang berkelana.
Sejarah
genre sastra dan tipe sastra menampilkan permasalahan yang lain. Pendekatan
“morfologis” dapat dan harus diterapkan dalam skala yang luas untuk mempelajari
folklor. Pada umunya periode sejarah sastra dibagi sesuai dengan perubahan
politik. Kalu kita mempelajari sejarah sastra Inggris yang ditulis akhir-akhir
ini, kita dapat melihat bahwa pembagian waktu berdasarkan abad atu pemerintahan
raja-raja sudah hilang sama sekali dan diganti periode yang nama-namanya
berasal dari berbagai kegiatan pemikiran manusia. Tetapi seandainya pun kita
mempunyai satu seri periode yang dengan rapi membagi sejarah kebudayaan manusia
politik, filsafat, seni, dan seterusnya sejarah sastra tidak boleh hanya
menerima skema yang didapatkan dari berbagai bahan yang mempunyai tujuan
berbeda.
Jadi,
suatu periode bukanlah suatu tipe atau kelas, tetapi merupakan bagiab waktu
yang dijabarkan oleh sistem norma yang melekat pada proses sejarah, dan tidak
dapat dilepaskan daripadanya. Masalah penulisan sejarah periode merupakan
masalah deskripsi. Penjelasan lain adalah bangkitnya generasi baru. Pembahasan
yang tak ada hentinya telah berlangsung mengenai periode-periode utama dalam
sejarah modern. Masalah yang lebih luas dan lebih jauh, yaitu sejarah sastra
nasional secara keseluruhan, lebih sulit lagi untuk dipecahkan. Bagaimanapun
juga, kita baru mulai belajar bagaimana menganalisis suatu karya sastra dalam
keutuhan.
Materi sastra anak diposting dong biarnlebih lengkap,
BalasHapusWah, masih sempat meringkas ya...?,bagus, bagus...:D
BalasHapustampilan blognya rapi hehe, tapi teksnya yang begitu banyak membuat mata saya ngantuk untuk membacanya :D
BalasHapusdaftar pustakax apa aj
BalasHapuspekok
HapusLaiyo pekok
Hapusmohon di bls ya
BalasHapuskomen terbaru nih min.... sampai saat ini kok aku belum bisa memahami kandungan buku ini ya....
BalasHapusmakasih atas tulisannya kak author
BalasHapusThank you kak, ini membantu banget, soalnya kalau mau baca bukunya itu butuh niat yg gede,jadi rangkumannya ini sangat membantu:)
BalasHapusIt is very helpful. Thanks in advance.
BalasHapusMantap, baca artikel Happening Now disini https://alpindinata09.blogspot.com
BalasHapusTerima kasih banyak :)
BalasHapus